Minggu, 21 Februari 2010

Pesona Sang Tradabur dari Aceh





















Photo : Muda Belia bersama Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf


tiga jam bersama MUDA BALIA

Badan lelaki Dua Puluh Sembilan tahun itu meliuk –liuk bersemangat. Gerakan bibirnya menuturkan syair-syair dan pantun hikayat berbahasa Aceh. Ia menuturkan fenomena apa yang ia saksikan sejak 26 Desember 2004 sampai 26 Desember 2009. Tepatnya apa yang ada dalam pandangan nya selama lima tahun terjadinya gempa dan gelombang pasang tsunami yang melanda Aceh lima tahun yang lalu. pedang pelepah kelapa, tikar anyam, bantal, dan seruling menjadi atribut yang menemani dia beraksi

Syair-syairpun meluncur indah tanpa henti

Pakriban haba Cut Bang Irwandi/ Peukara MURI pakriban cara/ Nyoe pat adoe ka meusingklet gaki/ hana lon tukri meujak u Jakarta/ Tulong hai Cut Bang neuboh paduli/ Beuna keueh MURI keu Muda Balia

Apa kabar Cut Bang Irwandi, bagaimana dengan persoalan MURI, adinda disini sudah tergelincir kaki, tidak tahu bagaimana caranya ke Jakarta, Tolonglah Abang, supaya ada cara MURI untuk Muda Belia (terjemahan bebas penggalan syair Muda Belia, yang dibacaakan saat membaca “peugah haba” 26 Jam, di lokasi Kapal apung, Banda Aceh

***

Syair dia atas, adalah penggalan syair bertutur “peugah haba” yang di lantunkan sang trudabur muda itu. Kapal Apung PLTA milik PLN yang berbobot 4.500, didatangkan dari Kalimantan Barat ke Aceh menjadi saksi bisu pentas sejarah yang menghantarkan sang tradabur memperoleh rekor MURI.


Tanpa cela dan mengacau, Muda Balia, menuturrkan syair-syair dalam pantun indah khas Aceh, yang di kenal dengan seni “peugah haba” atau seni bertutur . Tampil dengan berbusana khas Aceh, hari itu, Balia pun mempersembahkan totalitas kesenian itu . ia menuturrkan syair-syair dalam pantun indah khas Aceh, yang di kenal dengan seni “peugah haba” atau seni bertutur. Ia bertutur 26 jam, tanpa jeda, kecuali shalat dan makan. MURI memberinya sertifikat, pengakuan atas rekor yang dia pecahkan. Keindahan suara dan olah vokal Balia dama ”peugah haba” terlihat apik, tanpa cela dan mengacau, Muda Balia, Ia bertutur 26 jam, tanpa jeda, kecuali shalat dan makan.


MURI memberinya sertifikat, pengakuan atas rekor yang dia pecahkan. Di situs peninggalan tsunami Kapal Apung ini, Muda Balia hanya beristirahat selama 5 menit dalam setiap satu jam untuk istirahat. “Jika berhenti dalam waktu tiga jam sekali, berarti 15 menit itulah waktunya untuk makan dan shalat,” kata Teuku Afifuddin, koordinator acara.


Pemandangan ini, tak pernah disaksikan di Aceh sebelum nya. “Masa-masa konflik dulu, tak gampang melakukan pementasan seperti, apalagi yang mengundang orang ramai untuk menonton nya. Konon, jangankan untuk 26 jam, lima jam saja sulit” tutur Juliansyah, salah seorang penonton pada saya. Ia merasa puas dengan pertunjukan hikayat oleh sang trudabur asal Bakongan, Aceh Selatan, tersebut.


Akhir Desember 2009 yang lalu menjadi beda dari penghujung-penghujung tahun sebelum nya. Kali ini Aceh mengukir berita. Dan ini prestasi. Ini baru berita”ujar Juliansyah lagi.


Ya, Akhir Desember 2009 yang lalau memang berbeda. Penghujung tahun yang berbeda dengan penghujung tahun-tahun sebelum nya. Itulah yang dirasakan, lelaki yang hanya tahu tahun lahir nya saja. Muda Balia, nama lelaki tersebut. Suami dari Nursimah (22 th), dan Bapak dari dua anak, Lia santika (3 thn), rahmatullah (9 bulan), memecahkan rekor Peugah Haba (bertutur), selama 26 Jam. Ia pun mendapat pengakuan sertifikat dari MURI (museum rekor Indonesia).


Ini memang terobosan sejarah. Baru kali ini, atau paling tidak dalam satu dekade belakangan ini, kesenian Aceh berada di puncak suatu rekor. Muda Balia yang tampil di lokasi Kapal Apung, Punge Blangcut, Banda Aceh, menampilkan Hikayat Dangderia yang dimainkannya selama 26 jam dengan interval hanya untuk shalat dan makan. Itu memang luar biasa. Muda Balia telah memecah Rekor MURI. Prestasi nasional itu, konon disaksikan oleh Gubernur Irwandi dan beberapa unsur Muspida. Irwandi pun memberi pernyataan tertulis atas kesaksiannya.

Mimpi itu jadi kenyataan, ujar Balia pada Gatra. Mimpi sang trubadur asal Bakongan, Aceh Selatan, itu menjadi pemangku rekor bergengsi di level dunia berbasis nasional, dengan meraih Piagam MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) pada acara 26 Jam Hikayat Tsunami di lokasi Kapal Apung, Punge Blang Cut, Banda Aceh, pada 26 Januari 2009. Yakni sebagai penampilan hikayat yang terlama hingga mencapai 26 jam. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.


Muda Balia sendiri, tak kuasa menahan harunya. Dia tak bersuara apapun waktu itu. Matanya berkaca-kaca. Perjalanan hidup berkesenian yang telah dijalani dengan segala suka dukanya, hari itu telah mengantarkan dia ke suatu episode baru. Yaitu menggapai puncak kebahagiaan yang tiada taranya. “saya tidak menyangka, peristiwa ini terwujud”, seperti mimpi saja Pak”ujarnya pada saya


Muda Balia memulai berkecimpung dengan seni “peugah haba” sejak ia duduk di kelas 4 SD, tahun 1994. Saat itu ia suka sekali menonton pertunjukan seni bertutur Peugah haba. Putra bungsu pasangan Syafi’i dan Rusna itu menceritakan, dia tidak ada tujuan banyak hijrah ke Banda Aceh pada 1998 silam. Apalagi pendidikannya hanya sebatas SD. Namun, satu tujuan penting baginya yang diamanatkan gurunya Zulkifli asal Manggeng, Abdya (sebelumnya Aceh Selatan). “Saya ingin menjelaskan penafsiran tentang hikayat dangderia yang menurut guru saya salah diartikan. Tapi, saat itu saya tidak punya tempat dan dan orang yang memfasilitasi,” sebutnya.


Ayah dua anak itu menjelaskan, aliran hikayat yang dibawakan dibandingkan almarhum Adnan PMTOH, sama. Namun, penyajiannya berbeda. Bahkan gurunya Zulkifli dan guru almarhum sama-sama berguru pada satu orang, yakni Amat Lapee.


“Kalau guru saya, menggunakan peraga patung helm dan alat lainnya. Kalau saya menggunakan peraga yang digunakan guru Amat Lapee, yakni pedang pelepah kelapa, tikar anyam, bantal, dan seruling,” cerita Balia


Kematangan Balia dalam bertutur, terlihat sekali saat membacakan hikayat Peeh Bantai yang lebih akrab dengan peugah haba atau dangderia itu, ia hanya mengandalkan ketahanan fisik dan daya ingat. Ia mengaku tak mengunakan hal lain saat diminta tampil di suatu acara atau hajatan.


“Peugah haba dalam Bahasa Indonesia artinya berbicara. Sementara dangderia, sosok raja yang diceritakan dalam hikayat itu. Dan hikayat tentang dangderia, yang paling sering dibawa dalam setiap penampilan,” katanya seraya menjelaskan bahwa ini semua lebih bersifat pesan moral dan syariah.


”dulu saya menyampaikan hikayat ini, dalam acara-acara undangan pernikakan dan sunat rasul, sekarang di acara yang besar”, semangatnya tetap sama ujar Balia.


Ada yang luar biasa dalam tutur itu. Hikayat yang dituturkan Balia, spontan bisa lahir dalam ingatannya dalam sekejap tanpa catatan apapun. ” saya hanya meminta waktu sejenak, melihat sekeliling saya, mengamati bagaimana respon penonton. “ ujarnya mantap.


” sebenarnya hikayat dengan tema lain pun mampu saya mainkan, kalau di undang itu tergantung yang mengundang. Hikayat apa yang mereka minta, Insya Allah, melantunkan suatu kisah hikayat, mampu saya lakukan. Apa pun itu. tergantung permintaan yang menggelar hajatan. Katanya lagi. Bahkan, tanpa sifat takkabur saya mampu tampil 7 hari 7 malam,” sebut Balia


Baginya, tak ada yang membanggakannya selain tampil dan memperkenalkan kembali kesenian Aceh yang hampir punah itu. Kini sosok sang traubador Tgk Adnan PMTOH seakan lahir kembali dalam diri Muda Balia.


”saya tetap akan menggeluti kesenian ini, sampai kapan pun Pak”, ujarnya. Ia merasa miris. Masalahnya, ia melihat zaman teknologi sekarang, sebagian besar budaya mulai ditinggalkan masyarakat. Saya ingin tetap menjaga itu” katanya tenang. Sebutnya seiring pesatnya zaman dan teknologi, saat ini hikayat Peeh Bantai atau kesenian Aceh lain mulai tenggelam. Bahkan perhatian cukup kurang terhadap kebanggaan peninggalan leluhur.


Terbukti setiap hajatan atau lainnya masyarakat lebih memilih hiburan peralatan canggih, seperti musik keyboard dan sebagainya. “Bukan masalah tidak diminta tampil. Tapi, kalau kita diam dan terus lihat kondisi ini, semuanya akan punah. Jadi apa yang patut dibanggakan pada anak cucu kita kelak. Hendaknya semua pihak mencurahkan perhatiannya,” ungkapnya lagi


Balia telah mempersembahkan kebanggaan bukan hanya bagi dirinya. Tetapi juga bagi seluruh warga budaya Aceh di manapun berada. Itu pula yang dikemukakan oleh Paulus Pangka SH, Senior Manager MURI bahwa rekor MURI yang diraih Muda Balia adalah juga milik warga Aceh. Betapa, kesenian Aceh itu memiliki daya tarik dan power yang tinggi. Karenanya, tambah Paulus, Aceh hendaknya dapat mengembangkan kemampuan itu sehingga meraih rekor dunia. Bahkan menurutnya, rekor yang diciptakan oleh Muda Balia itu, belum pernah ada sebelumnya.


“Di dunia pun Belum ada pembaca hikayat tradisi begitu yang bisa mencapai 26 jam. Karena itu prestasi Balia bisa disebut juga sebagai prestasi dunia,” ujar Paulus.


Ia menambahkan bahwa meskipun kita berbeda-beda, tapi dengan budaya kita menjadi satu di dalamnya. Budaya tidak melihat latar belakang, baik agama, individu, dan yang bersangkutan, tapi menjadi kesatuan yang utuh. Itulah seni budaya. MURI memberikan penghargaan ini dalam kriteria superlative.


Seniman muda ini ternyata menyimpan bakat yang luar biasa. Ia telah berkelana dari tanah kelahirannya Bakongan, Aceh Selatan berjuang menggalakkan kembali kesenian teater tutur Aceh yang sangat terkenal puluhan tahun lalu yang disebut dengan nama kontemporer: PMTOH.


Banyak orang mengatakan, Muda Balia, bagai personafikasi dari sosok Tgk Adnan PMTOH, seniman kondang yang telah almarhum. Kepiawaian Tgk Adnan, kini mungkin telah menurun pada Muda Balia. Terutama pada aspek pelantunan kisah dalam bait-bait sya-e (syair) secara otomatis. Balia bisa menyairkan hal apa saja dengan cepat. Walaupun belum sehebat Tgk Adnan, toh, Muda Balia benar-benar berbakat untuk itu.


”saya tidak bilang bahwa saya sama dengan Tgk Adnan PMTOH, namun bisa jadi banyak kesamaan yang tanpa saya sadari ada”, ujarnya. Ia juga mengaku bahwa gurunya bersyair, yang juga sudah almarhum satu guru dengan Tgk. Adnan PMTOH


Balia memang luar biasa. Dengan berbusana khas penyair bertutur, Balia pun mempersembahkan totalitas kesenian itu. Keindahan dan kekuatan vokal nya yang bulat dan lantang, mampu menyihir para penonton. Badan nya meliuk-liuk mengikuti syair apa yang di ucapkan terlihat jelas, kekuatam diksi pada bunyi yang bertaut, antara suara, tarian dan juga properti dari pelepah pisang, yang mendukung peugah haba dari Balia


Itu semua belum selesai. Sebab dalam pelantunan kisah yang bersyair itu, toh sang seniman menambahkan kekuatan imaji. Tiap bait yang berlalu diberi mimik dan karakter. Sehingga unsur teaternya tampak begitu kuat. Jadi, ada patron dramanya. Bukan itu saja. Dengarlah dengan cermat. Totalitas tontonan itu berada dalam frame birama. Dalam satu birama, maka rithme kesenian itu meluncur dalam ketukan yang teratur. Terdengar: Puk...puk.....puk, suara pukulan kayu ke atas bantal, sangat kental mengatur irama. Dari sanalah rentak bait-bait sya-e dilantunkan dalam rhitme musikal.


Muda Balia memang sudah mendekati kemampuan khas Tgk Adnan PMTOH. Jika pun kurang, adalah soal pengalaman dan trik-trik teatrikalnya. . “Kesamaan saya dengan PMTOH, karena kami sama-sama berkesenian dari satu orang guru, yakni Mak Leupe,” ujar Balia pada saya lagi


Ia pun mengaku pernah ikut sebagai sosok belakang layar dalam sejumlah show Tgk Adnan PMTOH sekitar tahun 1998, tapi tak berkesudahan. Sewaktu Adnan masih hidup, Muda Balia tak berkesempatan tampil bersama dalam satu pentas. Itulah masalahnya, mengapa Balia tak segera populer di mata publik.


Padahal, sejak duduk di kelas IV SD, sang guru, konon murid langsung dari Mak Leupe, bukan tak memberi kesempatan tampil. Walau hanya di level gampong, toh penampilan Balia selalu menjadi buah bibir. Tapi, itu cuma riwayat lama. Sekarang Muda Balia hampir pasti sudah menggantikan Tgk Adnan PMTOH di cabang kesenian ini.


Sebelum nya, Balia sempat ragu, apakah ia bisa berangkat ke Semarang, untuk langsung menerima sertifikat dari MURI. Memang setelah itu,untuk keperluan keberangkatan itu, balia tak punya dana yang cukup



“Hana peng ngon lon jak (tak ada uang saya pergi),” ujarnya. Karena bagi seorang Balia, jangan kan untuk ke Jakarta, untuk makan saja susah, ujarnya tenang. Balia tinggal di sebuah tempat, bersama anak bininya di sudut galeri tua Taman Budaya Banda Aceh. Ia tak punya uang buat sewa rumah.


Gayung bersambut. Pemerintah Aceh mendukung penuh Balia untuk bisa mengambil langsung sertifikat MURI tersebut.
Menjelang detik-detik pencatatan rekor Muri, Gubernur Irwandi Yusuf langsung menyatakan kekagumannya terhadap sang traubadur muda, dengan menyalami dan merangkulnya. Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Irwandi Yusuf juga meminta pihak Muri untuk mencatat prestasi Muda Balia dalam membawakan hikayat tsunami selama 26 jam secara non-stop itu.



“Alhamdulillah, aksi Muda Balia selama 26 jam non-stop itu akhirnya berhasil masuk dalam catatan rekor Muri. Ini semua tentu tidak terlepas dari besarnya dukungan semua pihak. Untuk itu, kami sampaikan ucapan terima kasih,” kata koordinator acara, sekaligus Manajer Balia,Teuku Afifuddin. Muda Balia yang lahir di Seunebok Alue Buloh, Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan, pada 29 silam itu, mampu menyelesaikan aksi 26 jam non-stop ini dengan amat mengesankan. Tak heran, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Kapolda Aceh Irjen Pol Adityawarman, yang turut menyaksikan penampilan Balia, mengaku bangga dengan prestasi yang diukirnya itu.


Dikatakan, selain rekomendasi Gubernur untuk menuju Muri, pihak DKA dan DKB serta pihak notaris juga mengusulkan hal sama, agar Muda Balia dan seluruh bagian penampilannya itu dimaasukkan ke dalam rekor Muri Indonesia. “Kami sudah menelpon pihak Muri Indonesia dan diterima oleh Mbak Wida. Selanjutnya kami akan berangkat ke Jakarta dalam waktu dekat ini, stelah menerima konfirmasi langsung dari Ketua Muri, Jaya Suprana,” papar Afifuddin.


Ditambahkan di lokasi penampilan Muda Balia melantunkan hikayat Tsunami, di depan panggung itu, pihaknya juga membentangkan spanduk yang bertuliskan: Gerakan Sabang-Marauke Rp 1.000 untuk membayar utang negara Kesatuan Republik Indonesia. “Gubernur berpesan, hendaknya gerakan ini dilakukan pertama oleh Aceh. Selanjutnya diharapkan baru diikuti oleh provinsi lain di Indonesia,” ungkap Afifuddin.


Detik bersejarah bagi Aceh itu, tertuntaskan sudah. Muda Balia pria yang hanya “pernah” bersekolah tingkat SD itu, meraih penghormatan berkaliber dunia tersebut di gedung Museum Rekor Dunia Indonesia, Jalan Perintis Kemerdekaan No 275, Semarang. Muda tercatat sebagai penerima penghargaan MURI dengan nomor urut ke 4085.


Bagaikan sebuah mimpi indah. Tiba-tiba datang menjadi kenyataan di hadapan kita,” ujar T Kamal Sulaiman, Ketua Dewan Kesenian Aceh (DKA)


“saya tidak dapat menahan haru, perasaan itu bercampur bersama bangga, melihat prestasi Balia, ujar Kamal yang memang hadir bersama-sama Zoelfikar Sawang, Ketua Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB). Selain hadir sebagai orang yang mendukung Balia, Kamal dan Zulfikar juga menerima penghargaan sebagai penggagas atau pemrakarsa 26 Jam Hikayat Tsunami.


Kamal sangat berterimakasih kepada gubernur Aceh, Irwandi yusuf dan juga Wagub Ace' Muhammad Nazar. T Kamal Sulaiman yang Ketua DKA itu berulang kali menyampaikan terima kasih dan penghargaannya kepada masyarakat Aceh. Terutama kepada Gubernur Irwandi Yusuf dan Wagub Muhammad Nazar selaku kepala Pemerintah Aceh.


Terimakasih juga kepada Bapak Wali Kota Mawardi Murdin selaku Pemerintah Kota Banda Aceh yang telah mendukung prakarsa besar itu sejak awal. “Saya Sangat terharu dengan respon yang telah diberikan, sehingga impian telah menjadi kenyataan,” ujar Kamal.


Zoelfikar Sawang SH, Ketua DKB, melihat peristiwa peraihan rekor MURI itu sebagai momentum bagi semua pihak di Aceh untuk lebih peduli kepada seni tradisi. Zoelfikar meyakini, bila semua pihak memberi dukungan masíh banyak jenis kesenian tradisi Aceh yang bisa diangkat ke puncak. Ia pun tak lupa mengucap terimakasih atas berbagai dukungan yang telah diberikan, sehingga prestasi itu berhasil diraih dengan gemilang.


Setelah meraih rekor tersebut, apa lagi rencana untuk Balia? Menurut Afifuddin, yang jelas pulang ke Aceh. Tapi sebelumnya, kemungkinan besar Balia akan tampil di Jakarta. Tapi rencana untuk selanjutnya juga terus kami persiapkan, kata Afifussin. Bahkan, menurutnya kepada GATRA, kalau tidak ada aral melintang, Balia akan mencoba mengukir sejarah pada ulang tahun Indonesia yang ke 65.


Acara sudah dirancang dan dipersiapkan. MURI sudah menawarkan untuk Balia, bisa tampil berseni peugah haba di kantor MURI. Namun pilihan lain adalah tampil di tugu monas atau depan istana negara. Acara yang bertajuk “ dari Aceh untuk Indonesia” itu, akan digelar dengan menampilkan kebolehan bertutur Balia, selama 7 hari 7 malam. Pihaknya kini tengah mempersiapkan dan menghubungi pihak Guinness World Record, sekaligus menyaksikan Balia memecahkan rekor bertutur tingkat dunia, selama tujuh hari tujuh malam. Sukses Balia. Sejarah Aceh semakin berkibar, dengan namamu

Selengkapnya...

Kamis, 18 Februari 2010

Lelaki dari "Negeri Lima Menara"



















SEBUAH BUKU SAYA LIHAT di deretan Best Seller Gramedia sekitar hampir setahun yang lalu. buku itu berjudul Negeri Lima Menara. sekilas dari judulnya terlihat unik. pikiran saya menerawang dan menyangka ini buku tentang perjalanan sang penulis ke lima Negara. Ternyata tidak. Dugaan msaya melesat. Buku ini tentang kisah perjuangan penulis semasa sekolah di sebuah pesantren Madani. Penulis itu, Ahmad Fuadi

***

AWAL PEBRUARI 2010 memasuki hitungan ke delapan. Suasana Jakarta hiruk pikuk dengan demo-demo ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah akibat kasus Bank Century yang tidak selesai sampai sekarang. Tanganku yang hampir sepuluh menit membaca sebuah novel, akhirnya berhenti dan menutup novel tersebut. Aku duduk di bangku paling belakang Trans Jakarta. Lima menit kemudian aku sampai di halte pemberhentian Ratu Plasa. Menelusuri jalan pintas dari belakang Ratu plasa, akupun sampai ditempat yang kutuju. Plasa Senayan

Ups.., waktu di jam tangan ku menunjukan pukul 13.45 menit. Hari itu tanggal 9 Pebruari 2010. Siang itu aku berjanji ketemu seseorang yang namanya sangat dibicarakan banyak orang. Bukan karena kasus, tapi karena prestasinya menulis Novel yang kini menjadi Best seller. Ahmad Fuadi

PUKUL 14.00 tepat BlackBerry ku berbunyi. Ahmad Fuadi calling, demikian terlihat di layar handphone pintar itu.

“Assalamualauikum Uda”, demikian sapa ku.

“Waalaikumsalam, sudah sampai di Plasa Senayan” demikian ungkapnya, membalas sapaan ku

“sudah Uda, saya berada tepat di taman tengah foodcort, lantai 2”, aku menjawab pertanyaanya.

Aku menunjukan tempat lewat teleponan itu, kami berjanji ketemu di depan gerai makanan jepang.
Sembari aku menutup telpon, aku melihat sosok lelaki yang muka nya persis seperti photo yang terpampang di halaman 419 novel Negeri Lima Menara. Tak salah lagi, ini pasti uda Fuad, aku membatin dalam hati

“Assalamualaikum, ini Hendra ya”, ia menyapaku ramah. Rasannya seperti ketemu dan sudah berteman lama.

“Waalaikumsalam, ia Uda. Saya Hendra”, kataku sambil mengulurkan tangan untuk berjabat.

Alhamduliullah, akhirnya ketemu juga, katanya tegas. Ia Alhamdulillah, kataku.

(kami berdua larut ngobrol hal-hal yang bermanfaat dan sangat membangun semangat saya)

Aku memanggilnya Uda, cukup beralasan. Ia seorang laki-laki yang berasal dari Sumatera Barat. Sebutan Uda, adalah panggilan hormat untuk laki-laki yang lebih tua dari saya. Saya sendiri punya keterikatan dengan Padang. Ayah angkat saya, M. Jamal, berasal dari Padang, dan hingga kini masih tinggal di Padang. Saya sendiri pernah beberapa kalai dalam waktu yang lama berkunjung ke Padang, untuk beberapa pekerjaan

***

Kepadaku, Uda Ahmad Fuadi, penulis Negeri Lima Menara, mengaku tidak pernah mengira novel yang ditulisnya itu akan mendapat tanggapan positif dari masyarakat.

"Saya tidak mengira respons masyarakat akan sebaik ini," kata nya

Semenjak diluncurkan pada Juli 2009, Ia mengaku sudah mendapatkan banyak undangan bedah buku yang datang dari berbagai daerah.

"Saya mendapatkan undangan bedah buku dari berbagai daerah seperti Bogor, Bandung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan dan lain sebagainya," katanya.

Ia menjelaskan, pihak yang mengundangnya dalam acara bedah buku ingin mengupas tuntas mengenai novel Negeri Lima Menara yang ditulisnya.

"Novel Negeri Lima Menara dianggap memiliki pesan moral yang inspiratif bagi sebagian orang yang membacanya," katanya.

Ia pun bercerita, novel tersebut diangkat dari kisah nyata perjalanan hidupnya yang pernah menjalani pendidikan di pondok pesantren hingga akhirnya berhasil meraih mimpi-mimpinya.

"Novel ini mengandung banyak pesan untuk tidak takut bermimpi setinggi-tingginya soal masa depan," katanya.

Novel Negeri Lima Menara merupakan buku pertama dari sebuah trilogi, dan buku keduanya masih dalam proses penulisan. (Uda Fuad menceritakan banyak hal dan cerita-cerita yang menarik, dalam Novel kedua dan ketiga yang tengah ia selesaikan)

Sekedar diketahui, Uda Ahmad Fuadi merupakan mantan wartawan Tempo dan VOA dan kini menjadi direktur komunikasi di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang konservasi. Ia merupakan alumni pondok pesantren Gontor, lalu melanjutkan kuliah di UNPAD dan pernah mendapatkan beasiswa S2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University.

"Melalui novel Negeri Lima Menara ini saya ingin mengajak generasi muda untuk tidak meremehkan impian walau setinggi apapun, terutama soal pendidikan dan masa depan," katanya. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dalam enam bulan terakhir telah dicetak sebanyak 80.000 eksemplar.

"Ada 80.000 eksemplar yang dicetak dalam enam bulan," kata penulis novel Negeri 5 Menara, katanya pada ku

Ia tidak pernah mengira novel yang ditulisnya itu akan mendapat tanggapan positif dari masyarakat.
Bahkan, para pembaca yang tergabung dalam komunitas 5 menara telah menunjukkan eksistensinya dengan menyalurkan bantuan untuk pembangunan kembali sekolah yang runtuh akibat gempa di Kota Pariaman, Sumatera Barat.

"Proses pembangunan sedang berlangsung dan akan diresmikan tengah Februari ini," katanya.
Novel tersebut diterbitkan pertama kalinya pada Juli 2009 dan kini sudah mengalami lima kali cetakan.
Ia menjelaskan, novel tersebut diangkat dari kisah nyata perjalanan hidupnya yang pernah menjalani pendidikan di pondok pesantren hingga akhirnya berhasil meraih mimpi-mimpinya.

"Novel ini mengandung banyak pesan untuk tidak takut bermimpi setinggi-tingginya soal masa depan," katanya.

***
A. Fuadi lahir di nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Ibunya guru SD, ayahnya guru madrasah. Lalu Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat.

Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang bersungguh ­sungguh akan sukses. Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional, UNPAD.

Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada. Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship.

Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah para wartawan kawakan Indonesia.

Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.

Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy.

Fuadi dan istrinya tinggal di Bintaro, Jakarta. Mereka berdua menyukai membaca dan traveling.

***
Tentang Negeri Lima Menara

”Negeri 5 Menara” adalah buku pertama dari rencana trilogi. Buku-buku ini berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan yang sangat inspiratif. Semoga buku ini bisa membukakan mata dan hati. Dan menebarkan inspirasi ke segala arah.

Setengah royalti diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi sosial berbasis relawan (volunteer) yang menyediakan sekolah, perpustakaan, rumah sakit, dan dapur umum secara gratis buat kalangan yang tidak mampu.

Dalam novel ini memperlihatkan betapa dominannya parameter non-artistik dalam menentukan kualitas dan kedalaman sebuah karya sastra. Sampul belakang buku itu sarat dengan endorsement yang ditulis oleh nama-nama beken, mulai mantan presiden, sutradara tersohor, gubernur, budayawan, intelektual, hingga pimpinan pesantren. Hampir semua komentar itu menyingkapkan segi-segi etik dan didaktik dari novel setebal 416 halaman tersebut. Tak ada satu pun ulasan dari sudut pandang estetika sastrawi. Apakah segi-segi estetik dan artistik yang sepatutnya menjadi kriteria utama da­lam menimbang sebuah karya sastra tidak lagi penting?

Berkisah tentang upaya keras enam orang santri di sebuah pondok pesantren dalam menggapai obsesi dan cita-cita besar mereka. Setelah menghadapi kegiatan belajar-mengajar yang sedemikian padat dan aturan-aturan kedisiplinan ekstraketat di Pondok Ma­dani (PM), Alif (Padang), Atang (Bandung), Raja (Medan), Dulmajid (Sumenep), Said (Mojokerto), dan Baso (Gowa) bersembunyi di bawah menara masjid PM, membangun mimpi-mimpi masa depan dengan mantra ampuh yang sama-sama mereka percayai; man jadda wajada (siapa yang bersungguh pasti akan sukses).

Alif tidak pernah mengira bahwa dirinya akan jadi santri PM yang disebut-sebut telah mencetak banyak ulama dan intelektual muslim itu. Sebab, sejak kecil dia ingin menjadi ''Habibie''. Baginya, Habibie tidak dalam arti seorang teknokrat genius, tapi sebuah profesi sendiri lantaran dia sangat kagum pada tokoh itu. Itu sebabnya, Alif ingin masuk SMA dan kelak melanjutkan pendidikan di ITB, sebagaimana riwayat perjalanan intelektual Habibie. Namun, ibunda Alif menginginkan anaknya mewarisi keulamaan Buya Hamka, ulama kondang yang lahir dan besar tidak jauh dari Bayur, tanah kelahiran Alif. Maka, dalam kebimbangan, Alif menerima tawaran itu sehingga dia bertemu dengan santri-santri berkemauan keras seperti Baso yang mati-matian menghafal 30 juz Quran sebagai syarat guna menggapai impiannya bersekolah di Madinah. Begitu juga Raja, Dulma­jid, Said, dan Atang.

Hanya beberapa bulan waktu berbicara dengan bahasa Indonesia bagi santri-santri baru di PM, setelah itu mereka wajib berbicara da­lam bahasa Arab atau bahasa Ing­gris. Bila aturan dilanggar, gan­jarannya tidak main-main. Bila tidak digunduli, sekurang-ku­rangnya bakal dapat jeweran be­ran­tai. Bahkan, bila pelanggarannya berat, santri bisa dipulangkan. Sa­king kerasnya kemauan para sa­hibul-menara untuk menguasai per­cakapan dalam dua bahasa a­sing tersebut, igauan dalam tidur me­reka pun terungkap dalam baha­sa Arab.

Dengan deskripsi ruang yang nya­ris sempurna, A. Fuadi berhasil memetakan seluk-beluk dunia pe­santren modern yang selama ini ha­nya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Pahit dan getir, riang dan gamang kaum santri dengan hu­mor khas pesantren ditandaskan dengan modus pengisahan yang menakjubkan. Tengoklah pelbagai alasan yang sengaja dirancang sahibul-menara agar mereka beroleh izin keluar PM, bersepeda mengelilingi Kota Ponorogo, dan tak lupa melintas di pintu gerbang pesantren putri, sekadar ''nampang''.

Begitu pula siasat Dulmajid yang me­mengaruhi ustad Torik agar ber­oleh izin nonton bareng per­tandi­ngan final bulu tangkis di ling­ku­ngan PM, padahal qanun (atu­ran pondok) menegaskan, san­tri PM dilarang menonton TV. ''Us­tad, lob antum itu mirip sekali de­ngan punya Icuk dan smes antum mirip Liem Swie King. Kalau nggak percaya, kita tonton siaran lang­sung besok malam.''

Ustad Torik langsung takluk dan ter­jadilah peristiwa bersejarah itu: TV masuk PM. Lewat satirisme khas kaum santri itulah, segi-segi estetik novel tersebut dapat ditandai hingga martabat kenovelannya tidak semata-mata ditakar dengan nilai didaktik dan etik saja. Bukankah jalan sastra adalah ikhtiar merancang sebuah alegori dari pelbagai realitas faktual yang menjadi panggilan penciptaan pengarangnya? Maka, kerja pemaknaan terha­dap teks novel tak segampang sebagaimana yang dilakukan para komentator novel tersebut. Bahwa kemudian ditemukan tendensi-tendensi didaktik, itu kenyataan yang tak bisa dielakkan karena setiap pembaca berhak menafsirkannya sesuai dengan kepenti­ngan masing-masing.
Tak dimungkiri bahwa di balik ki­sah yang digarap Uda Fuad dalam bu­­­ku ini, ada pengalaman empiris, ka­­­takanlah semacam fakta-fakta ke­­ras semasa pengarang mondok di Gontor yang menjadi muasal pe­­ngi­sa­hannya.

Tapi, dalam kerja ke­pe­ngarangan, fakta-fakta keras itu digiling sehalus-halusnya oleh ima­ji­nasi sehingga tidak bisa lagi di­lihat de­ngan kacamata hitam-pu­tih, tidak bisa diukur secara positi­vistik. ''Ima­jinasi'' di sini bukan da­­lam pemahaman yang menyehari. Filsuf Arab Al-Farabi (850-950) dalam kitabnya, Ara' Ahl Ma­­dinah Wa Al-Fadhi­lah, me­nye­but­nya quwwatul mutta­khilah, se­macam potensi dalam subjek, yang berpijak pada pengalaman em­­p­iris dan penalaran (reasoning), sehingga ia sangat berbeda dengan ''fantasi'' -yang tidak perlu berangkat dari pengalaman indrawi, apalagi penalaran. Dalam epis­temologi Al-Farabi, ''imajinasi'' dalam batas-batas tertentu bahkan da­pat melampaui pencapaian akal-bu­di dan pengalaman empiris itu sendiri.

Maka, dunia imajiner dalam Ne­ge­ri 5 Menara bukan lagi semata-ma­ta dunia A. Fuadi dan sejawat-se­ja­watnya semasa di Gontor. Kisah yang disudahi pengarang dengan re­uni bersejarah di Trafalgar Square, Lon­don, -setelah 15 tahun masa-ma­sa sulit di PM berlalu- telah terdedahkan sebagai ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya. Bukankah Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) yang bertemu pada sebuah konferen­si di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Mereka tak pernah menyangka para sahibul-menara ba­kal menggenggam impian masing-ma­sing. Yang mereka tahu hanya man jadda wajada, siapa bersungguh-sungguh, bakal sukses. (referensi Damhuri Muhammad)

***

Tak terasa 3 jam kami diskusi dan ngobrol banyak hal, termasuk rencana-rencana besar nya tentang upaya, agar proses penggarapan film novel Nageri Lima Menara. Kami berpisah karena waktu tak memungkinkan. Uda Fuadi sudah punya janji dengan beberapa orang lagi tentang urusan pekerjaan nya. Kami berpisah di lift lantai dua menuju lantai satu. Setelah bersalaman, kami berpisah. Aku melihat lelaki dari Negeri Lima Menara itu tersenyum semangat. Di setiap langkahnya kuliahat semangat dan harapan, yang akan kuceritakan kepada anak-anak didiku dikampus. Mari menjadi menara-menara yang hebat bagi masyarakat dan umat. semoga Selengkapnya...

Template by - Fedri Hidayat - 2008